Senin, 11 Maret 2013

cinta



Sudah genapah kau menghitung hari ?
Jangan au isi dengan dusta, atau sumpah serapah...
Jalinan dahlia, pipit dan halaman rumah membiru
Menggapai getar dalam nadi darahmu
Agar menjenguk semilir angin yang menjalin
Untaian biru lembayung bergambar dewi cinta
Kau menantap dengan bahasa sendu,  kata kata pujangga
Kau jinjing hingga menawan hatiku ke sudut jantungku

Aku meruntuhkan langit
Menebas birama bumi bagai anak remaja kasmaran
Tak tentu arah menjaring angin kembara
Kau di sisi mount everest....mengalir deras di nadi darahku
Kau biakan aku.tak mendusta hari

SEMARANG 12 MARET 13

Selasa, 18 Desember 2012

Hitam Pekat


kembali serambi langit bertirai hitam pekat
gulungan awan pekat...menikam buku harianku
tak sedikitaku berniat menutupnya..
karena sehalaman penuh tertoreh kau di sana
di batas langit,.....
di tengah gulungan awan hitam..
di ngarai berlantai melati dan kenanga....
di boulevard bersama sang arjuna....

aku tertawan dalam tembang parau
berujung gerigi tajam yang kau sedu dengan senyumanmu
berilah kabar meski hanya dengan kepak merpati

bersama hujan...untuk sebuah salam canda
aku dalam benang rindu
hujanmu.menyelinapkan aku dalam gubug kecilku
sepi..tanpamu....


 Mentari

mentari masih bersinar...
menyiratkan masih ada hidup
mentari melontarkan hangatnya...
pertanda masih ada bara di dada...
mentari tiada bosan menyengat...
memberi kabar masih adakah semangat...?
mentri tak pernah menyisakan keluh..
perlambang tak kan ada lagi kesah
mentari dan bulan, tak pernah bersatu
adalah untuk kita makna siang dan malam
bahwa kita selalu dalam perguliran nasib

(Semarang 19/12/12)

Jumat, 07 Desember 2012

Kala Cinta Harus Berceloteh

 

Semburat awan jingga menghias lengkung langit senja

Tak ada semilir angin membawakan keranjang bunga

untuk  Nurlela yang bersembunyi dari manisnya kepak kupu

Serasa hari memang menawanya dalam sayatan pilu,

Dia menidurkan wajahnya di lipatan kedua lututnya

Di serambi rumahnya, senja membelenggunya

Hanya bermesra dengan senja yang sepi

 

Kala Prince Henry,  bayangan kasihnya dalah lubuk hati

Mengajaknya berkereta kuda istana menyisir tanaman jagung

sepanjang jalan  desa  dipusari kebun palawija dan tebu

Angin kemarau begitu kencang menyibak rambut sang ratu

Nurlela tersenyum bahagia

 

Hari berlalu melebihi anak panah melesat menebas angkasa             

Mentari tetap bermandi debu kemarau, tanaman jagung berganti

ilalang, bermesra dengan angin musim menunggu penghujan

Prince Hanry tak kalah cepatnya dilentingkan oleh angin musim

Untuk terbang memunguti hari harinya

 

Di Jakarta sang pangeran berhasrat untuk meminang hari

Entah hari milik siapa, sang pangeran tidak ingin tahu

Hanya peluh ditubuh yang menjadi saksi

Dia tak lebih dari anak petani desa, bergumul dengan tanah kebun

dan   sawah. Bermanis manja dengan emak dan bapaknya serta Nurlela yang mengirimkan bekal ke sawah

 

Gubug bambu yang menjadi saksi akan janji janji mereka

Sebuah ikatan sutra dari si lengan lengan kecil

 

Namun Jakarta adalah milik runtuhnya sebuah jaman

Jakarta tak mengenal petani desa yang polos

Jakarta adalah pusaran monster pemakan manusia

Tulang dan daging rapuh menjadi tak berdaya..

 

Debu Jakarta bukan lagi debu di atmosfer sawahnya

Sang pangeran menjadi tak tahu arah  terbitnya matahari dan bulan

Dialah yang merentangkan sayapnya sendiri demi sebuah hidup

Yang bengis menerkamnya, nafasnya menjadi separo bakan hampir lenyap

Sang pangeran menjadi jalang dan liar

 

Lakon hidup memang harus terkembang karena angin

bertiup dengan ganas dan liar

Bayang Nurlelapun mengelupas  dari bilik jantungnya

Sang pangeran jatuh dalam pelukan noni metropolis

Entah kemana...sang waktupun terus menerbangkanya

 

Detik bermatamorfosis dalam menit dan jam

Berpuluh purnama tidak ada kabar dari sang pangeran

untuk Nurlela.

Ilalang tak seeksotis dulu lagi, tanaman jagung memilih diam membisu

Padang luas bertumbuh perdu, semayam belalng dan serangga lapar

Kini menemani Nurlela dalam penantiannya.

 

Sedangkan sawah ladang milik bapaknya tak seramah dahulu

Emak dan bapaknya kini menjerit dalam lilitan hidup

Hanya kecantikan paras wajah Nurlela yang menjadi buah hati emak dan bapaknya, yang kurus kering.

 

Nurlela dalam seribu kebimbangan, lantara hanya dia

yang mampu memberikan air dahaga bagi emak dan bapaknya.

Berpuluh sudah saudagar kaya dan muda meminangnya, tanpa sepatah katapun Nurlela

menjawabnya.

Demi sang pangeran yang menyabung nasib dengan peluhnya di Jakarta

 

Kedua sorot mata emak dan bapaknya bertambah kosong

Lantaran hari hari yang dilalui tambah menakutkan

Maka emak dan  bapaknya kini hanay terbaring menahan sakit parah

Nurlelapun menyerah, membunuh sendiri getaran cinta dalam jantungnya.

Kini dia dalam bilik pengantin yang berornamen hambar

Entah milik siapa hari lalu, kini dan esok ?

Nurlela tertunduk lesu

Semarang, 8 Desember 12