Selasa, 18 Desember 2012
Jumat, 07 Desember 2012
Kala Cinta Harus Berceloteh
Semburat awan jingga menghias lengkung langit senja
Tak ada semilir angin membawakan keranjang bunga
untuk Nurlela yang bersembunyi dari manisnya kepak kupu
Serasa hari memang menawanya dalam sayatan pilu,
Dia menidurkan wajahnya di lipatan kedua lututnya
Di serambi rumahnya, senja membelenggunya
Hanya bermesra dengan senja yang sepi
Kala Prince Henry, bayangan kasihnya dalah lubuk hati
Mengajaknya berkereta kuda istana menyisir tanaman jagung
sepanjang jalan desa dipusari kebun palawija dan tebu
Angin kemarau begitu kencang menyibak rambut sang ratu
Nurlela tersenyum bahagia
Hari berlalu melebihi anak panah melesat menebas angkasa
Mentari tetap bermandi debu kemarau, tanaman jagung berganti
ilalang, bermesra dengan angin musim menunggu penghujan
Prince Hanry tak kalah cepatnya dilentingkan oleh angin musim
Untuk terbang memunguti hari harinya
Di Jakarta sang pangeran berhasrat untuk meminang hari
Entah hari milik siapa, sang pangeran tidak ingin tahu
Hanya peluh ditubuh yang menjadi saksi
Dia tak lebih dari anak petani desa, bergumul dengan tanah kebun
dan sawah. Bermanis manja dengan emak dan bapaknya serta Nurlela yang mengirimkan bekal ke sawah
Gubug bambu yang menjadi saksi akan janji janji mereka
Sebuah ikatan sutra dari si lengan lengan kecil
Namun Jakarta adalah milik runtuhnya sebuah jaman
Jakarta tak mengenal petani desa yang polos
Jakarta adalah pusaran monster pemakan manusia
Tulang dan daging rapuh menjadi tak berdaya..
Debu Jakarta bukan lagi debu di atmosfer sawahnya
Sang pangeran menjadi tak tahu arah terbitnya matahari dan bulan
Dialah yang merentangkan sayapnya sendiri demi sebuah hidup
Yang bengis menerkamnya, nafasnya menjadi separo bakan hampir lenyap
Sang pangeran menjadi jalang dan liar
Lakon hidup memang harus terkembang karena angin
bertiup dengan ganas dan liar
Bayang Nurlelapun mengelupas dari bilik jantungnya
Sang pangeran jatuh dalam pelukan noni metropolis
Entah kemana...sang waktupun terus menerbangkanya
Detik bermatamorfosis dalam menit dan jam
Berpuluh purnama tidak ada kabar dari sang pangeran
untuk Nurlela.
Ilalang tak seeksotis dulu lagi, tanaman jagung memilih diam membisu
Padang luas bertumbuh perdu, semayam belalng dan serangga lapar
Kini menemani Nurlela dalam penantiannya.
Sedangkan sawah ladang milik bapaknya tak seramah dahulu
Emak dan bapaknya kini menjerit dalam lilitan hidup
Hanya kecantikan paras wajah Nurlela yang menjadi buah hati emak dan bapaknya, yang kurus kering.
Nurlela dalam seribu kebimbangan, lantara hanya dia
yang mampu memberikan air dahaga bagi emak dan bapaknya.
Berpuluh sudah saudagar kaya dan muda meminangnya, tanpa sepatah katapun Nurlela
menjawabnya.
Demi sang pangeran yang menyabung nasib dengan peluhnya di Jakarta
Kedua sorot mata emak dan bapaknya bertambah kosong
Lantaran hari hari yang dilalui tambah menakutkan
Maka emak dan bapaknya kini hanay terbaring menahan sakit parah
Nurlelapun menyerah, membunuh sendiri getaran cinta dalam jantungnya.
Kini dia dalam bilik pengantin yang berornamen hambar
Entah milik siapa hari lalu, kini dan esok ?
Nurlela tertunduk lesu
Semarang, 8 Desember 12
Sabtu, 01 Desember 2012
Rinduku Rindumu
Dalam keranjang hati bersulam benang emas..
aku simpan saja rindu yang merontang
meski mengalir deras sepanjang dinding nadi darahku..
dalam rindu, aku sisihkan apa yang harus tersimpan
dalam kerah bajuku sendiri.
Dalam rindu,
aku menjadi pengecut yang lari dari tumpukan memori
aku belenggukan pada kawanan pipit, terbang menyapa awan
untuk rindumu yang sebatas kain tipis,
namun bersorot pandang tajam , aku tertikam pilu dan kelu
Untuk rindumu,
kau sendiri yang menusukan pada kawanan ilalang
tajam menyayat angin pagi, terhambur pada prosa dinding jantungku
lantas kau kemasi hari tersembunyi dalam bilik yang pengap
tak ada lagi untuku tawa sutra biru merayu...
saat pagi berkulum senyum kau menghardiknya
Untuk rinduku....
aku adukan pada Akasia yang menyerpih daun daunya
saat kemarau memberinya sisi tajam panasnya
namun kau hanyut, melibas dan melentingkan hidangan
yang aku sodorkan demi sebuah
hari panjang, berteman sejuta dewa dewi menuai
dan padi yang menggerutukan jalan panjang
tak berarah angin...dalam dinding senyumu
aku tersungkur
Rindumu..
masihkan wewangi setelah terbasuh sejuta kembang ?
atau hanya kering beluntas yang menggambar
biarkan aku maki diriku sendiri
melesat bagai anak panah
menawan hari hariku sendiri, sepi......
Semarang, 2 Desember 2012
Langganan:
Postingan (Atom)