Jangan
kau enggan lagi, kasihku…..
Untuk
meniti apa yang kita punya, untuk membentangkan
Kata
hati hingga menawan “Puncak Mount Everest”
Yang
menangis pilu dan menyembunyikan wajahnya di ketiakmu….
Walau
malam yang kau lewati mengutukmu sekeras hati.
Meski
juga belum kau miliki hari hari beruntungmu
Dengan
segelas air susu segar, penumbuh harap
Atau
rumah pengantin beratap daun pandan
Dan
berlantai keharuman…….
Dengan
halaman lias bertanam bunga Anyelir
Bila
sang waktu telah menyelinap di kantong bajumu
Embun
pagipun mampu melonggarkan nafasmu
Kita
mampu menyiangi sawah sawah berpagar lamtoro, daun milik
lenguh
sapi, kambing dab domba yang melingkungimu di pusaran
hari
tanpa buruk sangka, sumpah setapan, gegap gempita
Bahasa
hati yang serakah dan melekang tanpa nermandi…….
Gemercik
air di tengah sawah kita.
Bila
waktu kita telah tiba.
Tiada
lagi wereng coklat atau wedus gembel, yang mengguratimu
Dengan
lara hati…
Bila
juga telah sirna panorama padang belantara
Dengan
segudang panorama tanaman berduri…
Aku
hanya mampu menyisipkan hati
Pada
kesegaran air tawar dan sejuk dari telaga
Yang
membentang di balik langit
Bila
waktu kita tiba, kekasihku…..
Kita
dirikan saja rumah bambu, yang berornamen Suralaya…..
Dari
jendelanya kita mampu memandang “hati hati bersenyum kebon bunga”
Bukan
hati hati layaknya singa lapar
Yang
mampu mengoyak tabir zaman yang rapuh,
Biarlah
anak anak kita mampu menepisnya
Dan
bermain sesuka hati di beranda
“Awang
Awang Semilir” yang bertangga “Amarta,
Widarakandang, Jodipati
Karang
Kedempel” dan jargon para ksatria.
Bukan
di beranda penuh kambing menjulurkan lidahnya
Karena
ringkih termakan nafsu hedonism, suka memfitnah
Dan
menganyam keranjang perseteruan
Kekasihku,….kita
adalah anak bangsa yang…
Memiliki
bilah hati,
Jakarta, 2
Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar