Bila hari masih saja berselingkuh dengan
halimun pagi…
Kan mengembang kuncup gairah hidup bagi yang
bersandar
Pada pilar langit bermandi cahaya seribu
warna,
Hingga jendelanya menawarkan tangganya…yang
dijaga bidadari,
Bersenyum kesantunan hidup…di negeri penuh dongeneg dan taman
bunga
Kadang kita palingkan sinar surya yang
tersangkut
Di tebing sekeliling rumah bambu kita
Lantas seberkas senyum dari anak istri
kitapun menyambut…..
Dengan ceria…..meskipun tanaman singkong telah menenggelamkan
Separuh tubuhnya…..
Kita yang masih, berlantai tanah di gubug
bambu penuh semayam
ketidakmengertian….lantas dalam tumpukan
jerami kita temukan
hidup kita sendiri.
Lantas masihkah ada meja hidangan untuk
makan anak istri kita
Berlantai kain sulaman sutra,
Bertiup angin yang membawa serbuk wewangi
berharum anyelir.
Apabila tiap jengkal tanah…..di halaman rumah kita
Membawa pesan drama hidup penuh amarah
Bukan lagi tari eksotis sutera sinar mentari
yang melilit
Di pucuk bulir padi….atau lenguh gembira sapi perahan
Serta kerbau kambing dan domba yang
mengantar cerahnya pagi
Kemana lagi akan kita rajut keranjang hidup
untuk lengan….
Yang tiada seberapa kuatnya…
Selamat pagi pada semua yang berdandan
Dengan dandanan kebon sayur bertepi hujan
setahun
Dan “setiap langkah” berenda tatapan mata
tajam menelanjangi
Cakrawala yang terbujur dingin di balik
bukit Archipelago
Kita selayaknya menyusun tangga dari lengan
yang bersambung
Yang kita jinjing oleh kaki kaki legam
terpagut ganasnya
Deru debu negeri jingga naungan sinar
surgawi
JAKARTA, 22 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar