Di Mana Kita Temui TUHAN
Dengan
kokoh kita ikatkan,
Keranjang
penuh harap yang melilit di tepi
tak
berbatas…..
gumpalan
debu yang angkuh
berseloroh
menelikung batu karang.
Tak kita dengar lagi….
Kibasan
kain sutera putih
Bertepi
nyanyian jiwa penuh kesyahduan
Kedua
tangan kita sudah cukup memar
Asapun
membelenggu hingga ……
memenuhi
empat penjuru asal angin
Namun
mengapa tak terlihat
pelabuhan
penuh atap-atap harap
akupun
bersimpuh..
Kemana
kita temukan Tuhan
September 18 ,2010
Parcel Doa
Jangan
pernah bermimpi
Akan
taman bunga setaman
Yang
berkelopak warna jingga
Dijinjing
tangkai berwarna merah,
ketika
kita mewarnai pagar taman
dengan
cat warna merah membara
Jangan
pernah berharap
Bila
kita dengan mudah menjangkau,
tepi
taman, dengan mata meredup
Bila
pematang yang melintangi
Berkelok
tak melekat pada sang arah
Mari
kita kemas
Hiasan
hari dalam hidup
Berupa
tutup kembang wewangian
Beralas
kayu “tak lekang” di makan jaman
Dalam
wadah terselubung dalam dada
Yang
kokoh
September, 18 , 2010
Berkait Angin
Pagi
berselimut kabut
Kuning
mentari tiada menolong lagi
Burung
memilih mengeringkan sayapnya
Pohon
terpagut rindu
Nyanyian
sang burung
Pergi
mencari sarangnya
Tak
kembali
Langkah
gontai
Dari
kaki beralas kulit menghitam
Bahu
meluruh
Memburu
harap
Membendung
angin,
yang
datang dari tengah langit
kaitpun
terpasang kokoh
terbawa
hingga senjanya jaman
gubug
kita kembali sunyi
September , 18, 2010
Di Ladang Bertanam
Fatamorgana
Kala
aku ceritakan, tentang tanaman jagung kuning
Menebar
seluruh ladang
Engkau
tertawa ringan
Menebar
harap agar mampu merengkuh pagi
Ketika
mentimun hijau menggantung,… kuceritakan
Engkaupun
sambut dengan pelukan kedamaian
Lantaran
ulat rakus telah menjauh
Membidik
dengan matanya yang tajam
Dari
balik ilalang
Kupu
kupu warna warni memilih
Memadu
cinta dengan terang siang hari
Hingga………
Wajah
senja penuh awan gelap
Kitapun
segera menjinjing doa
Agar
tiada lagi debu jaman
Yang
bergulir menelan gubug kita
Aku
selipkan dalam dinding bambu
Yang
tiada seberapa kuatnya
September, 18, 2010
Menerjang Batas
Tidak
seberapa luasnya bilik
Yang
kita huni…
Berlampu
pelita dari minyak
ketabahan
hati
Nyala
api yang tiada mampu
Melihat
jaman
Aku
bercengkerama
Menimang
“hati yang liar”
Tiada
mampu lagi
Menegakan
cermin yang lusuh
Tergolek
di lantai tanah
Bahu
telah penat mengusung
Untaian
jaman penuh kata munafik
Tentunya
lebih baik aku akrabi
Kenisbian
yang sanggup
Melemparkan
bayang pada tepi senja
Aku
kabarkan pada batas yang tak jelas
Bertabir
pekikan dari durjana
Yang
menghitami hati dengan kubangan lumpur
Di
ujung nafas yang kian bersurut
Kini
awan senja menjemput
Menukikan
kisah yang
tak
ada dalam guratan tangan.
Sepi
………
September,18,2010
Bulan
Bertafakur
Indah
..
Membahana
ke tiap sudut hati
Remang
malampun menyingkir
Lantaran
takut dengan lidah bulan
Yang
basah menyodorkan kekaguman
Pada
SANG KHALIQ
Akupun
bersandar pada bulan
September 18, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar