Lampu lampu
jalan yang redup turut membunuh kota itu…kota di jantung
Archipelago…kubangan
mandi bidadari
Yang tanpa
nafas menggeliat, untuk memelantingkan rumah kardus
Di tepian
sungai berwarna hitam dan menyesakan rongga dada,
Dengan
langkah berat bersepatu kulit dari “Sang Koruptor” yang membuat aspal jalan
Menganga
berlubang….menghardik bajaj dan abang becak,
Akupun
menyelinap di sela tubuh beton pengap, tempat tawa ‘kelu’ bibir
Pucat.. untuk
menghabiskan selembar demi selembar penghidupan
Noni yang
hitam kelam kulitnya, namun berbibir sumbing
Melampiaskan
deru eksotis Kota Pelacur ini.
Seakan sang
ratu dari negeri Anderson dalam lakon Sepatu Kaca
Belum ada
lekukan tubuhnya yang, membuatkan semilir sejuk angin kehidupan,
Sementara
sang abang becak hanya mampu menjaring terkaman panas matahari
Roda rodanya
berkeluh kesah menerbangkan debu debu,
Meninggalkan
jejak kemaksiatan…
Dalam birama
reformasi, yang tidak kunjung mengerti semua mata yang nanar
Dan
menawarkan air tawar dalam gelas beralas daun pandan,
Hingga tulang
rusukpun tidak ikut mengoyak jantung yang meradang
Dalam kota
itu “Festival Pelacur” berlangsung dengan meriah,
Tidak ada
lagi dada telanjang dari anak desa
Yang
bermesraan dengan kelembutan malam, untuk menjemput bulan purnama
Bulan…!,
jangan kau ikutkan angin yang tidak punya tautan
Menghardik
semua yang mampu memincingkan mata pada Kota Pelacur ini,
Tapi tawarkan
angin segar, agar wanita wanita di taman kota
Yang bergaun
warna warni, tak ada lagi kain yang lapuk dan pengap,
Biarkan aku
selipkan apa yang harus aku pegang kuat kuat
Meski Kota
Pelacur ini telah kuat menggigitku
Hingga lengan
ini tak ringan lagi bertaut dengan tubuhku
Kota
Pelacurku, akupun tak akan menyambutmu dengan wajah
Berlipat,
bergayut bulan mati, berenda gerigi ilalang
Aku sudah
tidak sanggup lagi pada gelisah dan jalangnya
Tiap sudut
Kota Pelacur yang ikut memercikan wajah wajah marah
Dengan tubuh
yang terbujur kaku dan sorot kebencian,
Masih saja
dalam sudut hati, aku susun sedikit bunga rampai kesabaran
Agar mampu
kutautkan ornament “warna jingga” milik yang sedang menggapai
Cinta…yang
membius anganku
Sehingga kau
tampak seperti “Taman Pelangi”
Yang
berbicara dengan bahasa warna
Mari kita
labuhkan sampan…bercabda angin pagi,
Biarkan sore
menunggu di balik cakrawala
Berilah
kepadaku jalan jalan taman, agar aku mampu menyapu
Pandangan
mata yang tampak “tak sahaja” lagi
Asal aku
mengenal Kota Pelacur ini dan mampu meninggikan,
Kanopi menuju
persembahan kepada Sang Penjaga Langit
Agar aku
mampu mengintai jalan jalan
yang penuh
dengan sedu sedan sang empu liar dan jalang
Semburat
warna yang menyedu dalam tiap pagi
Yang
disodorkan oleh Tangan Sang Pencipta
Akan aku
tawarkan agar mampu meminang canda tawa mereka
Yang ada di
cerita Kota Pelacur
Semarang, 12
April 2011-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar