Tak
pernah aku ceritakan kembali, tentang kebenaran cerita Ibu,
Kala
aku kecl di halaman depan berayun pada ayunan akar rotan….
“Alam
juga bisa marah, anaku !”
Tapi
mana aku tahu, sedangkan kembag gula di kulum mulutku
Memberikan
warna sejuta buah…dan lautan imajinasiku tentang
betapa
gagahnya presiden kita, yang menyelipkan tongkat kharismanya
berpeci
hitam sekokoh Bukit Barisan.
Aku
terperangah, seakan puncak Semeru dan Jaya Wijaya
Menjadi
teman karibnya
Seakan
“Archipelago” adalah benar berbenah
Untuk
mandi sang bidadari di “Suralaya”
Dan
dewa dewa “Sworgaloka” berkenan sejenak
singgah
Menata
dandanan yang ketat dan melelahkan
Tapi
benar kau Ibuku !.
Alam layaknya sejuta serigala bertaring tajam
Dengan
kuku hitamnya hendak mencabik, kawanan Ilalang
Tak
berarti…….
Tak
memiliki tulang yang kokoh
Hanya
kaki dan lengan melegam, berselingkuh dengan sang surya
Yang
sedang menghalau hama
padi yang menguning
Namun
bernoktah hitam dari kemaksiatan jaman
Ibuku,
biarlah aku semai do’a di sawah kita
Tempat
kau menyiangi ketulusan hati
Tempat
kau menebar benih benih kepedulian
Pada
setiap lekuk sungai yang bening
Ibu,
ajari aku menguntai puisi
mengenal
alam dengan prosa prosanya
Yang
kini menakutkan
Biarkan
aku bergelut dengan peluhku sendiri
Asalkan
aku dikencani alam
Untuk
bergayutku pada ujung hari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar