Jalan
panjang berdebu, beterbangan tak tentu arah, dihempas angin menelikung
bagai
“sesaji para dewa” ….ketika marah dan menghardik.
Beberapa
diantara manusia yang ada di jalan itu,
Memburu
diriku seakan akan bernafsu mengulitiku,
Tanpa
seloroh aku sodorkan, tanpa hendak menerjang
Mereka
memburu nafas.
Mereka
tiada mengrti di mana harus menyimpan hati.
Mereka
tak mau membumikan sorot mata.
Hendak
menghanguskan tulang igaku.
Janganlah
kau timbang hidup ini.
Dengan
apa apa yang tak mampu kau lihat, esok pagi……
adalah
dalam tabir berkelambu benang sutra.
Jangan
pula kau lepas ikatan kalau kau menghitung hari, merajut….
angin
dalam keranjang bambu.
Atau
meranggaskan Akasia
Tempat
anak anakmu berteduh,
dari
binalnya sang waktu
Larilah
sekencang angin.
Kala
menjemput ilalang yang hanya diam membisu.
Pada
istana yang kau susun sendiri.
Di
balik tempat sejuta sayap putih bergetar.
Kau
tetap menghardik hatimu sendiri.
Kau
tetap menyempitkan rongga dadamu.
Aku
hanya memincingkan.
Sebelah
mataku.
Lalu
kau membara.
Sepi…….
Aku
sendiri………(25 September 2010).
PERHELATAN
Belum
mampu juga, awan awan langit biru meniru
manusia…dalam
menjinjing warna semu.
Warna
itu beruntai peluh yang menelanjangi…..
Mentari
di siang hari..atau berselimut
angin
…ketika malam telah dingin
Beribu
genggaman mengabarkan pada ornament
di
tepi jalan, tempat lalu lalang dengus nafas
Menggagahi
suara alam datang dari celoteh,
beribu
burung di tepi telaga tempat berlayar
perahu
perahu kertas dan sauh yang tak lagi mampu menambatkan
hasrat…….
Janganlah
kamu berteriak nyaring
Hingga
membangunkan bidadari di Suralaya
Dan
menggusarkan wajah Bethari Durga.
Perhelatan
kini memenuhi setiap beranda rumah
Namun
aku telah kelu lidahku
Hanya
semu batas memandang, lebih baik…
aku
menggapai ke tempat embung
di
kaki bukit………
tempat,
aku dan anak istriku membersihkan badan.
Ketika
hari telah senja
Perhelatan
ini menusuk tengah hari, laksana pesta pengantin
Jalan
tertutup debu dan pekik serta hiruk pikuk.
Beribu
kertas merah kusam memenuhi ruang nafas
Nenek
nenek tua bergincu tebal
Ikut
tertawa terkekeh, meronakan tengah hari
Semua
meradangkan gempita
Semua
menyanyikan senandung hati yang nantinya
akan
terlemparkan pada fatamorgana penghias “rayuan bunga kertas”
agar
si anak kecil bobo di sore hari
Jangan
kau saksikan angin malam berujung tajam
Merendakan
deru dan debu, mengibaskan semua santun
Yang
disimpan di sudut rumah masing masing penghuni
Nusantara.
Gambarlah
langit yang sesuai dengan ketiak tubuhmu
Lantaran
tiada lagi kabut yang menghimpit
Setelah
kembang tulip berkelopak jingga
Dan
bertangkai putih salju
Telah
terkubur hidup hidup di gerigi jaman
Namun
jangan kau hardik
Anak
desa di punggung kerbaunya
Yang
masih setia dengan sawah ladangnya
Ketika
rasa rindu pada padi menguning
Tidak
berias di tengah perhelatan ini
Hingga
kau sendiri yang mengagungkan perhelatan ini
Hanya
duduk di sudut rumahmu sendiri
Akupun
hanya mengerling
Lantas
pergi memburu sunyi (25
September 2010)
WARSI
Dia
hanya mengenal bulan kelahiranya
hanya
dengan Bulan Jawa
dia
hanya mampu menumbuk padi,
memasak
nasi, menyedu teh untuk suaminya
memandikan
anaknya agar sedini ke sekolah
di
tengah kabut pagi yang
merenggutnya.
Buah
bibir manis berisi kembang setaman
Dia
dapatkan dari penyihir pinggiran jalan
Untuk
hidup dengan gaun nyonya belanda
Di
rumah loji berlantai marmer
Bergenteng
semen
Dan
sebuah andong bersaiskan pemuda perlente
Tampan
dan gagah
Lantas
dia menerpakan debu debu jalan
Agar
jalan dipenuhi dengan lunglainya tubuh manusia
Dari
sebrang jalan
Yang
dia sendiri tak pernah menginjaknya
warsipun
meronakan wajahnya bagai kilat di tengah hujan
memusari
puting beliung, hendak
mendandani
moleknya Sang Ibu Pertiwi
Warsi
hanyalah warsi
Tiada lebih anak desa
Yang
hanya mahir bersawah
Warsipun
hanya warsi
Yang
tergolek sepi..di sudut jaman (25
September2010)
MALAM PEKAT
Mereka
berduyun menembus pekat malam
Mencari
ilalang yang bertepi daun yang tajam
Yang
sering melukai kaki si bocah
Kala
bermain mencari belalang,
di
padang yang gersang.
Mereka
membawa lampu minyak
Yang
temaram menemani sinar sang rembulan
Langkah
kakipun masih belum laju
Di
jalan jalan penuh kerikil dan berliku
Di
malam pekat sebagian mengiba
Di
malam pekat sebagian menerjang
Dengan
bara api kebencian (25 September 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar