Sepenggal cinta yang kau sedu dengan sepotong nasi hangat
adalah “suka cita”, yang lebih menyihir ketimbang
lampu-lampu
“mercusuar”, meski terpagut sepi
Belum cukup lajunya
sang waktu
yang “menelikung” semua
sayap-sayapmu
agar berbenah di istana
senja bersusun
pelangi seribu warna.
Semarang, 22 Nopember
2011
Engkau
dan Aku
Menepikan sejenak semua
bekal hidup
Lantas kau sandarkan,
“puting beliung” yang memusari
seluruh dahaga dan mata
nanar
lalu lalang belalang yang siap menerkam
ulu hatiku yang tiada
seberapa luasnya
biar saja aku lipat,
untukmu yang disisiku
Aku susun bantal
beruntai kain emas
Agar kau rebah dan
membisikan sebuah cerita
tentang birunya gejolak
hati
aku menyepi….
Hanya aku tautkan pada
awan jingga
Sekali sekali engkaupun
berteriak
Kala kebon bunga di
samping rumah
Telah mengering,
ditawan sinar kuning mentari
Akupun tetap
menjaganya,
Biarlah secawan “air
segar” kehidupan
Terus saja memburu,
semua pilu dan gundah
satu dua hari, aku
hitung
dan terperangah dalam
lakon birama hidup
engkaupun mengenakan
gaun pemgantin
bertabur gemerlap
pantulan sinar mentari’
aku jinjing, meski
lenganku berteriak
patahkan iri
dengki…dengan halimun pagi hari (Semarang, 22 Nopember 2011)
Tengoklah Jantungku
Tak kentara, sebuah
nyanyian dari jantungku
Kau dengar, meski
engkaupun tak selesai
Menyododorkan telingamu
Sebuah nyanyian dan
orchestra,
Jangan kau tepis dengan
biola parau
yang kau hirau, dalam
galau yang melibas
semua lagu lagu tentang
“nyanyi rindu”
Tetap simpanlah rapi
rapi, untuk
“Bunga Pengantin” dalam semaimu,
bila telah kau mulai
membaurkan warna
di atas kanvas dalam
jantungku,,,,,
(Semarang, 22 Nopember
2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar