Menggambar Angin (Ketika aku lahir)
Sesekali
langit…..
Mendekatkan wajahnya hingga terlihat
taburan tinta..yang mengemas sebuah sejarah
Akupun berkelana di tengah angin kembara..
sayup di sudut langit itu…. sebuah goresan KodratNYA
akupun terkapar tiada daya
dalam peluk cium suatu kehidupan (Semarang, Agustus 2010)
Mendekatkan wajahnya hingga terlihat
taburan tinta..yang mengemas sebuah sejarah
Akupun berkelana di tengah angin kembara..
sayup di sudut langit itu…. sebuah goresan KodratNYA
akupun terkapar tiada daya
dalam peluk cium suatu kehidupan (Semarang, Agustus 2010)
Padang Luas beratap Bulan Purnama
(Menjadi anak desa)
Kala atap langit,,penuh bersendau-gurau sinar bulan
nyanyian anak desa menggema dalam duduk yang melingkar
berebut bayang sendiri, yang menerkam suasana
manja, ceria dan berdandan angin pantai
Karena
aku anak pantai
Aku tersihir menjadi hati yang berkeping
Kala malam bersolek syair:
“yo..para kanca dolanan ning njaba
Padang wulan, wulane kaya rina……”
Bilakah ikatan dan buluh rindu ini
Kembali memperdayaku hingga aku tercampak
dalam bulan purnama di padang desa (Semarang ,Agustus 2010)
Aku tersihir menjadi hati yang berkeping
Kala malam bersolek syair:
“yo..para kanca dolanan ning njaba
Padang wulan, wulane kaya rina……”
Bilakah ikatan dan buluh rindu ini
Kembali memperdayaku hingga aku tercampak
dalam bulan purnama di padang desa (Semarang ,Agustus 2010)
Di Tengah Bunga Warna Warni
Ketika di depanku menghampar kebun bunga
Ranum Dahlia, Anyelir,Mawar hingga Kembang Sepatu
Masing menyodorkan sekeranjang kelopaknya
Yang terjulur dengan ornament hasrat
Di
sekelilingku, dialah wajah wajah ayu
Lantas kutepiskan tembang pilu
Agar mampu menghirup, wangi kembang itu
Kini tergolek dalam hujaman angin jaman
Entah kemana……..senyap (Semarang, Agustus 2010).
Lantas kutepiskan tembang pilu
Agar mampu menghirup, wangi kembang itu
Kini tergolek dalam hujaman angin jaman
Entah kemana……..senyap (Semarang, Agustus 2010).
Senyap Dalam Sudut Hati
Kala menghimpit peraduan di tengah malam
Secuil bayang datang dan berseloroh……
Inikah dirimu…dalam kertas kumal
hingga aku terjaga……..
hingga ku usap bayang itu
hingga menundukan wajah dan ,,,,,,
luruh bersama dingin angin malam (Purwokerto, 1982)
Aku Terbuang
(Di Bungalow Baturaden)
Di halaman bungalowmu
Aku coba menebar benih
Tentang semai dedaunan hijau
Hingga kita mampu bersemayam
Dalam teduhnya
Namun kembali hati ini meradang
Merajut kain sutra tanpa hiasan
Sedang aku sendiri layaknya sebuah kumbang
Menembus pekat malam
Ketika tersingkap sebuah bungalow
Yang kau tanami harap
Bungalow itupun kembali gelap…….(Purwokerto 1985)
Hanya Waktu yang Melintas
(Selamat Tinggal Purwokerto)
Mengapa harus kau jinjing sebuah angin dingin
Bila hanya bertaut dengan puncak Slamet
Mengapa pula tiada relung untuk menyegarkan aku lagi
Tatkala sebuah keheningan harus melumatku
Sehingga terasa jauh tulang dengan dagingku
Ketika kupetik jendela langit
Agar merah lembayung menghuni kita
Tatkala pula bayang hitam “dengan wajah beringas”
Harus mengeringkan aku di tengah kerinduan
Atau telah pupus sudah
“Asmarandhana” dan warna warni halaman hati….
Yang selama ini memberimu dandanan dalam dendang riang
Maka aku kembangkan layar biduk
Tapi entah hanya tergambar di wajah rembulan
Aku sudah tidak mampu lagi ..berteriak nyaring di kota ini…sepi.
(Purwokerto, Medio Juli 1986)
Aku kuliti diriki sendiri
(Jakarta, aku menghilang dalam bayangku sendiri )
Memburu angin pagi. Bercampur debu
Jalanan meradang…..kulihat sampah
Sorot mata garang…sungai-sungai menghitam
Terkelupas kulitku dalam bis kota
Yang memecah deru dan debu
Aku lunglai……….
Lantaran berjuta lengan legam dan kokoh
Mencekik leherku…
Aku terbang……
Terhempas angin busuk
Yang hanya menyisakan separo nafasku (Jakarta 1990)
Aku berdiri di Tengah Telaga Warna
(Mengais kehidupan di Kotaku Semarang)
Telagaku….
Bila kau katakana telah lusuh tubuhku…itu benar
Bila telah penat semua sendiku
Padahal harus aku jinjing secawan air telaga
Untuk menghapus dahaga di tepi senja
Maka aku kini berdiri di tengahnya
Yang bertepi rasa rindu dan dongengan satria
dalam lakon wayang yang “sacral”
Akan aku dapatkan pohon palam berjejer rapi di
tiap pagi….nyanyi burung kenari
sekarang telah menjadi miliku
aku dan mata hati ini adalah dua sosok yang kembar
(Semarang , Pebruari 1991)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar