Perjamuan teh saat ini,
memang berenda pagi mesra.
Meski hanya dengan sepotong gula
aren
Di atas meja kayu jati “Borneo”
Kita duduk di atas kursi rotan
dari
hutan “Bukit Barisan”.
Kita tepiskan gumpalan risau
Setelah beberapa teguk teh kasih...menikam
riuh
debu yang meradang.....
Tentang sesumbar anak negeri
Yang memincingkan mata,
bersyahwat
dengan perutnya sendiri
bersatulah
semua yang ada di perjamuan teh
dengan
cawan yang merentangkan “santun”
dan senyum
manis...kita sedu dengan kasih
Meski
hari hari panjang telah lesu
Tertawan
dalam hingar bingarnya fatamorgana
anak
negeri.....(Semarang, 25 Nopember 2011)
Hanya Satu Jalan
Telah beribu anak panah “Hrusangkali”
Milik Dewi Srikandi...menggendong episode
Dari bingkai waktu ke lainya.
Lihatlah kuntum seroja yang memerah
di benamkan dalam telaga tragedi...yang berair
hitam pekat dan anyir menusuk
hidung ilalang sang empu jaman.
Sudahkah kita usai memetik
Satu halaman buku harian dari
halaman langit biru...tak usai ?
Hingga Serayu, Brantas dan Musi
Telah dipenuhi sampah sampah durjana
yang menepi pada jaman tak bertuan
Lepaskan saja baju warna warni
Bila tanpa kelembutan dari pelangi..untuk esok hari
Demi satu jalan,meski sempit
Tapi ramah untuk anak kita
Yang tak beralas kaki....(Semarang, 25
Nopember 2011)
Memburu
Jarum Waktu
Semua pucuk palma,nyiur dan sawit telah meranggas
Dihujani petir dan kata hati yang “angkuh” dan “lidah
yang pedas”
Sementara masih teronggok ketidak pastian,
Dari tuan tuan “perlente” menyimpuh manik manik “berias
nestapa”
Hati yang terbujur dingin, kini bermandi gempita jaman
Yang berornamen terkuburnya peduli pada sesama nafas
Kita belajar pada anak jalanan yang mengganti nasi
Dengan sepotong doa, agar pagi masih bisa menjemputnya
Kita belajar pada apa saja, untuk memburu waktu
Sebelum “ilalang ganas” melilitkan akarnya
Dan menerkam kita dengan gerigi daunya yang mampu
Merobohkan pagar besi kantor negri
Jangan kita melihatnya dari sisi yang salah
Merekapun kini telah berjejer di pematang sawah
Bermandikan mentari katulistiwa, bertaut pada Jaya
Wijaya,
Melepas dahaga pada tepian Danau Toba dan Telaga Sarangan
Namun Anak Krakataupun mnyeringai ketakutan
Bila saatnya telah tiba
Mereka mampu menikam tebing kokoh menyatukan
Pasifik dan Atlantik pada kubangan lumpur memerah
Kita harus batasi dengan tirai halus kain sutra
Agar mereka dapat menyimpuhkan kedua kakinya
Menyodorkan nasi hangat dan sepotong ikan asin,
Dengan minuman teh sedu, selembut beranda negri
katulistiwa
Jangan kau “telikung” jarum waktu
Tidak akan mampu membalik arah putaran bumi
Lebih baik kita membenahi bilik untuk menyusun doa
Dan derap langkah menuju pagi di cakrawala
(Semarang, 25 Nopember 2011)
Mengatur
Nafas
Dalam hembusan angin tenggara, yang meliukan bulir padi
Kita lepas :tajamnya sorot mata”
Untuk diganti dengan tepian kelopak mawar
Atau dongeng sebelum bobo anak desa
Yang dipunggung kerbau mereka merekahkan senyum
Kita hentikan dulu semua bara di benak
Agar gmercik air sawah, menjadi santun mngalir
Tanpa menghempas birama “saling melentingkan lidah”
Kita dalam sepi, menyeka keringat dingin,
Tanpa genderang baliho jalanan yang lusuh
Seperti anjing kudis menjulurkan lidahnya
Memunguti “kedurhakaan” di jalan terpanggang panas
Dengan debu kemaksiatan yang menampakan terus
giginya yang pongah.
Kita dalam sepi, mengatur nafas
(Semarang, 25 Nopember 2011)....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar